Imam Syafi'i (Nasiir Sunah yang Tak Puas Ilmu)
Ummat Islam sangat beruntung pernah memiliki ulama sekaligus perawi hadits yang
sangat disegani itu. Dialah Imam Syafii. Saat berusia sembilan tahun, seluruh
ayat Alquran dihafalnya dengan lancar (bahkan ia sempat 16 kali khatam Alquran,
dalam perjalanannya antara Makkah dan Madinah). Setahun kemudian, isi kitab
Al-Muwatta karya Imam Malik yang berisi 1.720 hadits pilihan juga dihafalnya
tanpa cacat.
Kecerdasan membuat dirinya dalam usia 15 tahun telah duduk di kursi mufti kota Mekah, sebuah jabatan prestisius untuk ukuran masa itu. Kendati demikian, Imam Syafii yang bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris As Syafii tak pernah merasa puas menuntut ilmu. Bagi Imam Syafii, panggilan terkenalnya, semakin dalam menekuni sebuah ilmu, semakin banyak yang ia belum mengerti. Karena itu, tak heran guru dari Imam Syafii demikian banyak, sama banyaknya dengan para muridnya.
Lahir di Gaza, Palestina pada
150 H/767 M (w. Cairo, 20 Januari 820), Imam Syafii hidup di masa Kekhalifahan Harun Al-Rasyid, Al-Amin, dan Al-Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah. Ia termasuk keturunan bangsawan Quraisy dan masih keluarga jauh Rasulullah SAW. Dari ayahnya, garis keturunan bertemu di Abdul Manaf, kakek ketiga Rasulullah. Dari ibunya, ia cicit Ali bin Abi Thalib.
Semasa dalam kandungan, orang tuanya meninggalkan Mekah menuju Gaza, di wilayah Palestina. Setibanya di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan berpulang ke rahmatullah. Syafii diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi prihatin, serba kekurangan. Usia dua tahun, bersama ibunya, ia kembali ke Mekkah. Di kota inilah Syafii mendapat pengasuhan ibu dan keluarganya secara lebih intensif.
Setelah hafal Alquran, Syafii menekuni pula kesusasteraan Arab. Ia pun bermukim di dusun Badui, Banu Hudail, selama beberapa tahun. Di dusun ini ia mendalami bahasa, kesusasteraan, dan adat istiadat Arab yang asli. Karena ketekunan dan kepandaiannya, Syafii kemudian dikenal sebagai pakar dalam bahasa dan kesusasteraan Arab.
Puas belajar sastra Arab di tempatnya yang asli, Syafii kembali ke Mekah untuk belajar ilmu fikih. Gurunya, seorang ulama besar dan mufti kota Mekah, Imam Muslim bin Khalid az-Zanni. Ia pun belajar hadits dari Imam Sufyan bin Uyainah dan Alquran dari Imam Ismail bin Qastantin. Secara khusus, ia yang telah hafal Al-Muwatta' berhasrat menemui sang penulisnya, Imam Malik, di Madinah. Hasratnya ini tercapai dan demi mendengar kepandaian Syafii, Imam Malik merasa sayang dan menyuruh tinggal di rumahnya sambil memperdalam ilmunya. Sejak itu, Syafii mendapat tugas untuk mendiktekan isi kitab Al-Muwatta' kepada murid-murid Imam Malik.
Imam Syafii pun meninggalkan Madinah menuju Irak. Di negeri ini ia berguru kepada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan, keduanya sahabat Imam Abu Hanifah atau Imam Hanafi. Setelah dua tahun di Irak, Syafii melanjutkan pengembaraannya ke Persia, Hirah, Palestina, dan Ramallah, sebuah kota dekat Baitulmakdis (Yerusalem). Tujuannya hanya satu, menuntut ilmu pada ulama-ulama terkemuka dan mencari pengalaman. Dari Ramalah, ia kembali ke Madinah dan tinggal bersama Imam Malik hingga wafatnya ulama besar tersebut.
Atas undangan Wali Negeri Yaman, Abdullah bin Hasan, Imam Syafii berdiam di negeri ini dan menjadi penasihat urusan hukum. Di Yaman, Imam Syafii juga mengajar. Murid-muridnya banyak dari berbagai pelosok negeri. Oleh Abdullah bin Hasan ia dinikahkan dengan seorang putri bangsawan bernama Siti Hamidah bin Nafi yang masih cicit Usman bin Affan. Dari perkawinan itu, Imam Syafii dianugerahi tiga orang anak, Abdullah, Fatimah, dan Zainab.
Syafii terpaksa keluar dari Yaman karena ia ditangkap dengan tuduhan bersekongkol dengan kalangan Syiah mencoba menggulingkan pemerintahan. Ia pun dibawa ke Baghdad menghadap Khalifah Harun Al-Rasyid. Karena terbukti tak bersalah, ia pun dibebaskan.
Permintaan mengajar datang dari Mesir. Abbas bin Musa, wali negeri itu, memintanya datang. Dengan berat hati, Imam Syafii meninggalkan Baghdad dan mulai mengajar di Masjid Amr bin Ash. Biasanya, ia mulai mengajar sejak pagi hari hingga menjelang Dzuhur. Di negeri inilah, Imam Syafii berhasil menyelesaikan beberapa buku karyanya.
Pemikiran
Sekalipun menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, dalam lentera keilmuan dan keagamaan Imam Syafii lebih dikenal sebagai ahli hadits dan hukum. Pusat pemikirannya boleh dibilang terfokus pada dua cabang ilmu tersebut. Pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi, menjadikan Syafii digelari sebagai Nasiir as Sunnah, atau pembela sunnah Nabi.
Dalam pandangannya, sunnah Nabi mempunyai kedudukan yang begitu tinggi. Malah beberapa kalangan menyebut Syafii yang menyetarakan kedudukan sunnah dengan Alquran dalam kaitannya sebagai sumber hukum Islam. Karena itu, di mata Imam Syafii, setiap hukum yang ditetapkan Rasulullah pada hakikatnya merupakan hasil pemahaman yang diperoleh Nabi dari pemahamannya terhadap Alquran.
Selain kepada kedua sumber tersebut, Alquran dan hadits, dalam mengambil ketetapan dan keputusan suatu hukum, Imam Syafii juga mengakui dan memakai ijma' (kesepakatan ulama), qias (analogi), dan istidlal (penalaran) sebagai dasar hukum Islam. Dalam karyanya, Ar Risalaah, kelima dasar ini dipaparkan secara jelas dan gamblang.
Dalam kaitannya dengan sunnah, Imam Syafii juga memakai hadits ahaad (perawinya satu orang), dan hadis mutawattir (perawinya banyak orang). Menurutnya, bila dalam sunnah pun tidak didapati nasnya, ia mengambil ijma' sahabat. Namun, jika tetap tak didapati juga, imam Syafii memakai qias sebagai jalan ketetapan hukum. Demikian pula, jika tidak ada dalil dalam qias dan ijma', maka istidlal sebagai jalan terakhir memutuskan suatu hukum.
Berkaitan dengan bid'ah, imam Syafii berpendapat, bahwa bid'ah ada dua macam; bid'ah terpuji dan bid'ah sesat. Dikatakan terpuji jika bid'ah itu selaras dengan prinsip-prinsip sunnah. Sebaliknya, jika bertentangan dengan sunnah, dikatakan bid'ah sesat, dan karena itu tertolak. Sementara itu, dalam soal taklid, imam Syafii selalu memberikan perhatian kepada para muridnya agar tidak menerima begitu saja pendapat-pendapat dan hasil ijtihadnya. Ia tidak senang murid-muridnya bertaklid buta kepada pendapat-pendapatnya.
Sebaliknya, ia selalu menyuruh murid-muridnya untuk bersikap kritis dan berhati-hati dalam menerima suatu pendapat. Dalam kaitan ini pula, imam Syafii terkenal dengan ungkapannya, "Inilah ijtihadku. Apabila kalian menemukan ijtihad lain yang lebih baik dari (ijtihadku), maka ikutilah ijtihad tersebut." Ungkapan bijak itu hingga kini menjadi pelajaran penting dalam kaitannya dengan kehidupan beragama di Indonesia. (hery sucipto/berbagai sumber)
sumber : republika
Kecerdasan membuat dirinya dalam usia 15 tahun telah duduk di kursi mufti kota Mekah, sebuah jabatan prestisius untuk ukuran masa itu. Kendati demikian, Imam Syafii yang bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris As Syafii tak pernah merasa puas menuntut ilmu. Bagi Imam Syafii, panggilan terkenalnya, semakin dalam menekuni sebuah ilmu, semakin banyak yang ia belum mengerti. Karena itu, tak heran guru dari Imam Syafii demikian banyak, sama banyaknya dengan para muridnya.
Lahir di Gaza, Palestina pada
150 H/767 M (w. Cairo, 20 Januari 820), Imam Syafii hidup di masa Kekhalifahan Harun Al-Rasyid, Al-Amin, dan Al-Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah. Ia termasuk keturunan bangsawan Quraisy dan masih keluarga jauh Rasulullah SAW. Dari ayahnya, garis keturunan bertemu di Abdul Manaf, kakek ketiga Rasulullah. Dari ibunya, ia cicit Ali bin Abi Thalib.
Semasa dalam kandungan, orang tuanya meninggalkan Mekah menuju Gaza, di wilayah Palestina. Setibanya di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan berpulang ke rahmatullah. Syafii diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi prihatin, serba kekurangan. Usia dua tahun, bersama ibunya, ia kembali ke Mekkah. Di kota inilah Syafii mendapat pengasuhan ibu dan keluarganya secara lebih intensif.
Setelah hafal Alquran, Syafii menekuni pula kesusasteraan Arab. Ia pun bermukim di dusun Badui, Banu Hudail, selama beberapa tahun. Di dusun ini ia mendalami bahasa, kesusasteraan, dan adat istiadat Arab yang asli. Karena ketekunan dan kepandaiannya, Syafii kemudian dikenal sebagai pakar dalam bahasa dan kesusasteraan Arab.
Puas belajar sastra Arab di tempatnya yang asli, Syafii kembali ke Mekah untuk belajar ilmu fikih. Gurunya, seorang ulama besar dan mufti kota Mekah, Imam Muslim bin Khalid az-Zanni. Ia pun belajar hadits dari Imam Sufyan bin Uyainah dan Alquran dari Imam Ismail bin Qastantin. Secara khusus, ia yang telah hafal Al-Muwatta' berhasrat menemui sang penulisnya, Imam Malik, di Madinah. Hasratnya ini tercapai dan demi mendengar kepandaian Syafii, Imam Malik merasa sayang dan menyuruh tinggal di rumahnya sambil memperdalam ilmunya. Sejak itu, Syafii mendapat tugas untuk mendiktekan isi kitab Al-Muwatta' kepada murid-murid Imam Malik.
Imam Syafii pun meninggalkan Madinah menuju Irak. Di negeri ini ia berguru kepada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan, keduanya sahabat Imam Abu Hanifah atau Imam Hanafi. Setelah dua tahun di Irak, Syafii melanjutkan pengembaraannya ke Persia, Hirah, Palestina, dan Ramallah, sebuah kota dekat Baitulmakdis (Yerusalem). Tujuannya hanya satu, menuntut ilmu pada ulama-ulama terkemuka dan mencari pengalaman. Dari Ramalah, ia kembali ke Madinah dan tinggal bersama Imam Malik hingga wafatnya ulama besar tersebut.
Atas undangan Wali Negeri Yaman, Abdullah bin Hasan, Imam Syafii berdiam di negeri ini dan menjadi penasihat urusan hukum. Di Yaman, Imam Syafii juga mengajar. Murid-muridnya banyak dari berbagai pelosok negeri. Oleh Abdullah bin Hasan ia dinikahkan dengan seorang putri bangsawan bernama Siti Hamidah bin Nafi yang masih cicit Usman bin Affan. Dari perkawinan itu, Imam Syafii dianugerahi tiga orang anak, Abdullah, Fatimah, dan Zainab.
Syafii terpaksa keluar dari Yaman karena ia ditangkap dengan tuduhan bersekongkol dengan kalangan Syiah mencoba menggulingkan pemerintahan. Ia pun dibawa ke Baghdad menghadap Khalifah Harun Al-Rasyid. Karena terbukti tak bersalah, ia pun dibebaskan.
Permintaan mengajar datang dari Mesir. Abbas bin Musa, wali negeri itu, memintanya datang. Dengan berat hati, Imam Syafii meninggalkan Baghdad dan mulai mengajar di Masjid Amr bin Ash. Biasanya, ia mulai mengajar sejak pagi hari hingga menjelang Dzuhur. Di negeri inilah, Imam Syafii berhasil menyelesaikan beberapa buku karyanya.
Pemikiran
Sekalipun menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, dalam lentera keilmuan dan keagamaan Imam Syafii lebih dikenal sebagai ahli hadits dan hukum. Pusat pemikirannya boleh dibilang terfokus pada dua cabang ilmu tersebut. Pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi, menjadikan Syafii digelari sebagai Nasiir as Sunnah, atau pembela sunnah Nabi.
Dalam pandangannya, sunnah Nabi mempunyai kedudukan yang begitu tinggi. Malah beberapa kalangan menyebut Syafii yang menyetarakan kedudukan sunnah dengan Alquran dalam kaitannya sebagai sumber hukum Islam. Karena itu, di mata Imam Syafii, setiap hukum yang ditetapkan Rasulullah pada hakikatnya merupakan hasil pemahaman yang diperoleh Nabi dari pemahamannya terhadap Alquran.
Selain kepada kedua sumber tersebut, Alquran dan hadits, dalam mengambil ketetapan dan keputusan suatu hukum, Imam Syafii juga mengakui dan memakai ijma' (kesepakatan ulama), qias (analogi), dan istidlal (penalaran) sebagai dasar hukum Islam. Dalam karyanya, Ar Risalaah, kelima dasar ini dipaparkan secara jelas dan gamblang.
Dalam kaitannya dengan sunnah, Imam Syafii juga memakai hadits ahaad (perawinya satu orang), dan hadis mutawattir (perawinya banyak orang). Menurutnya, bila dalam sunnah pun tidak didapati nasnya, ia mengambil ijma' sahabat. Namun, jika tetap tak didapati juga, imam Syafii memakai qias sebagai jalan ketetapan hukum. Demikian pula, jika tidak ada dalil dalam qias dan ijma', maka istidlal sebagai jalan terakhir memutuskan suatu hukum.
Berkaitan dengan bid'ah, imam Syafii berpendapat, bahwa bid'ah ada dua macam; bid'ah terpuji dan bid'ah sesat. Dikatakan terpuji jika bid'ah itu selaras dengan prinsip-prinsip sunnah. Sebaliknya, jika bertentangan dengan sunnah, dikatakan bid'ah sesat, dan karena itu tertolak. Sementara itu, dalam soal taklid, imam Syafii selalu memberikan perhatian kepada para muridnya agar tidak menerima begitu saja pendapat-pendapat dan hasil ijtihadnya. Ia tidak senang murid-muridnya bertaklid buta kepada pendapat-pendapatnya.
Sebaliknya, ia selalu menyuruh murid-muridnya untuk bersikap kritis dan berhati-hati dalam menerima suatu pendapat. Dalam kaitan ini pula, imam Syafii terkenal dengan ungkapannya, "Inilah ijtihadku. Apabila kalian menemukan ijtihad lain yang lebih baik dari (ijtihadku), maka ikutilah ijtihad tersebut." Ungkapan bijak itu hingga kini menjadi pelajaran penting dalam kaitannya dengan kehidupan beragama di Indonesia. (hery sucipto/berbagai sumber)
sumber : republika
Komentar
Posting Komentar