Kritik Di Atas Kritik



Kritik Di Atas Kritik: “Tanggapan Pembaca Terhadap Belenggu” Oleh Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo

Winas Nazula F.M. (2101406032)

Di dalam buku “Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, Dan Penerapannya”, Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo menuliskan penerapan menilai sastra dalam bab “Tanggapan Pembaca Terhadap Belenggu”. Di dalam bab tersebut dijelaskan bahwa apresiasi sastra dalam suatu periode akan ditentukan oleh generasi sesudahnya dan seterusnya(Jauss, 1974:14). Tiap generasi akan memberikan penilaian yang berbeda karena masing-masing orang memiliki horizon harapan yang berbeda. Lebih lanjut dijelaskan dalam karya sastra ada tempat terbuka (Leer-stelle) sehingga bisa saja menimbulkan tafsir yang berbeda antara orang yang satu dengan yang lain. Hal inilah yang dijadikan dasar kritik Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo mengenai perkembangan tanggapan pembaca terhadap novel “Belenggu” sejak pembuatan (1940) hingga tahun 1990.
Kritik pertama terhadap novel “Belenggu” dimulai dari generasi Balai Pustaka berbentuk penolakan penerbitan. Penolakan Balai Pustaka untuk menerbitkan novel tersebut disebabkan oleh sifatnya yang bertentangan dengan aturan atau syarat-syarat pada waktu itu. Di antaranya, semua karangan tidak boleh melanggar ketertiban, budi pekerti, dan tidak berpolitik dengan Pemerintah Hindia Belanda. Dari situ tampak bahwa Balai Pustaka menggunakan pendekatan penilaian pragmatik (menilai karya dari unsur kebermanfaatan bagi pembaca).
Kritik ketidaksenangan yang sama dilontarkan oleh S.Djojopuspita, Soesilowati, Muhammad Dimyati, Soedjono Soerjotjondro, dan Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam kritiknya S. Djojopuspita  mengemukakan bahwa dalam novel tersebut ia tidak merasakan kehalusan dan keindahan bahasanya. Lebih lanjut disebutkan  tendenslah yang lebih kuat dalam buku tersebut. Ketidaksetujuannya tentang seni tidaklah semata-mata demi tendens mengarahkan kritik S. Djojopuspita berdasarkan kriteria realis.
Sementara itu Soejono mengkritik dengan pendekatan ekspresif (karya sastra sebagai luapan perasaan pengarang) dan pendekatan mimetik (karya sastra sesuai dengan kenyataan di sekitar pengarang). Ia mengatakan bahwa novel tersebut meskipun bahasanya buruk, di dalamnya tetap ada faedah dan isi ceritanya merupakan peristiwa-peristiwa yang memang ada di sekitar Armijn Pane-penulisnya.
Pendapat lain dikemukakan M.R. Dajoh bahwa “Belenggu” adalah buku modern, bahkan amat modern, amat baru penyajian isinya, di samping itu juga amat baru bentuk gambaran mengenai masyarakat dan kehidupan yang digambarkan oleh pengarangnya. Rupanya ia mengkritik menggunakan pendekatan objektif (menilai karya sastra sepenuhnya karya sastra).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat dipelajari bahwa sebuah karya sastra (dalam konteks ini novel “Belenggu”) tidak bisa dihakimi buruk saja atau bagus saja. Hal ini disebabkan ada perbedaan cara pandang melalui pendekatan-pendekatan dalam mengkritik karya sastra. Dalam pendekatan pragmatik, novel tersebut buruk karena tidak memberi gambaran yang baik untuk pembaca. Sedangkan pendekatan objektif, mimetik dan ekspresif memberikan penilaian yang baik karena “Belenggu” memberikan bentuk baru dalam perkembangan karya sastra di Indonesia. Selain itu, novel tersebut juga memberikan gambaran nyata kehidupan masyarakat di sekitar pengarang, serta sangat baik dalam menggambarkan luapan pikiran pengarang mengenai kondisi masyarakat pada masa itu.

Komentar

Postingan Populer